Rabu, 20 Maret 2013

Cintaku Bukan untuk Kubunuh


Apabila ada satu tema yang tidak pernah habis diceritakan dari mulut ke mulut, dinyanyikan dalam lagu-lagu, dikisahkan dalam berbagai novel, diekspresikan dalam puisi dan tari, dilantunkan dalam doa-doa, dan menyala-nyala di setiap hati manusia, maka itu adalah cinta.
Apabila ada energi manusia yang lebih dahsyat dari tenaga nuklir, lebih riuh dari halilintar, lebih menyala dari api, lebih sejuk dari embun, lebih tenang dari danau, maka itu adalah cinta.
Apabila ada drama manusia yang melibatkan kerinduan yang mencekam, kebimbangan yang menggamangkan, kasih sayang yang terdalam, kecemburuan yang membakar, kesetiaan yang tak terusik, kebersamaan yang tak terpisahkan, kesendiriaan dalam kerinduan, maka itu adalah cinta.
Iya, itulah cinta.
Cinta, kiranya Allah senantiasa memuliakannya, mula-mula permainan, lama-lama sungguh-sungguh. Cinta memiliki makna yang dalam, indah, dan agung. Tidak ada kata yang kuasa melukiskan keindahan dan keagungannya. Hakikat cinta tak dapat ditemukan selain dengan segenap kesungguhan pengamatan dan penjiwaan. Cinta tak dimusuhi agama dan tak dilarang syariat-Nya. Cinta adalah urusan hati, sementara hati adalah urusan Ilahi.
Sejatinya cinta merupakan sesuatu yang bersemayam dalam jiwa yang terdalam. Bisa jadi seseorang jatuh cinta karena suatu “sebab”. Segala ragam cinta yang tumbuh karena suatu “sebab” akan sirna bersamaan dengan sirnanya sang “sebab”, akan mekar bersamaan dengan mekarnya sang “sebab”, akan berkurang bersamaan dengan berkurangnya sang “sebab”. Cinta ragam ini akan menguat manakala “sebab cinta” mendekat dan akan mengendur manakala “sebab cinta” menjauh. Tidak ada cinta yang abadi, selain cinta suci yang keluar dari relung hati. Cinta ragam ini tak akan sirna, kecuali ajal datang menjelang.
Di antara sebagian sifat orang yang diterpa cinta adalah suka menyembunyikan perasaannya. Ia enggan mengaku kala ditanya. Ia bertabiat seolah tidak sedang memendam cinta. Ia tampil sesantai-santainya, agar orang mengira bahwa ia tidak sedang dimabuk cinta. Ia enggan bila diajak berbincang perihal cinta. Padahal, api cinta sedang membakar jiwanya.
Boleh jadi mulutnya diam seribu bahasa. Akan tetapi, lihatlah langkah dan tatapan matanya menyiratkan apa yang berkecamuk dalam dadanya. Ia serupa api dalam sekam. Atau serupa aliran air di perut bumi yang dalam. Mula-mula, boleh saja ia kuat menyembunyikan gelagak cintanya. Namun, karena gelombang cinta selalu mendera dalam jiwa, akhirnya ia pun tak kuasa menyembunyikan cintanya.
Orang yang menyembunyikan cintanya mungkin karena khawatir atau malu, kalau-kalau orang lain tahu bahwa ia sedang diterpa cinta. Ia mengira, jatuh cinta adalah kelemahan yang tak pernah mendera orang beriman. Ia mengira jatuh cinta adalah aib bagi orang yang paham agama. Oleh karena itulah, ia khawatir, kalau orang tahu bahwa ia sedang jatuh cinta, mereka akan menilainya sebagai orang yang tidak saleh dan tak taat beragama. Pendapat demikian jelas keliru. Sebab, sejatinya sebagai muslim beriman, ia hanya dititahkan untuk memelihara dirinya dari hal-hal yang diharamkan Allah, kala godaan datang menghampirinya.
Mencintai keindahan dan membiarkan cinta bersemi bukanlah hal yang hina, apalagi dosa. Jiwa dan hati kita senantiasa berada dalam genggaman Allah Yang Maha Menggenggam. Dia tak pernah memerintahkan hati kita, kecuali untuk menimbang mana yang benar, dan mana yang salah, kemudian meyakini dan meniti jalan yang benar sepenuh hati kita. Sementara itu, cinta bukanlah dosa. Ia adalah tabiat alami manusia. Yang seharusnya kita lakukan adalah mengendalikan segala anggota tubuh kita, agar tak terperosok dalam hal-hal yang diharamkan oleh Dia.
Akan menghinakah mereka yang tak kenal cinta
Sungguh, cintamu padanya wajar adanya
Mereka bilang, cinta bikin kau hina
Padahal, kau orang paling paham agama
Aku katakan kepada mereka
Iri kepadanya kalian tunjukkan selamanya
Jawabnya, karena ia mencinta
Pujaan jiwa pun mencintainya sepenuh hatinya
Kapan Muhammad pernah mengaharamkan cinta
Juga, apakah ia menghina umatnya yang jatuh cinta
Janganlah kau berlagak mulia
Dengan menyebut cinta sebagai dosa
Jangan kaupedulikan apa kata orang tentang cinta
Entah yang menyapa keras atau halus biasa
Bukankah manusia harus menetapi pilihannya
Bukankah kata tersembunyi tak berarti diam seribu basa
* * *
Mata mengawasi, hati mencari-cari, dan telinga pun merasa indah setiap kali mendengar namanya. Perasaan itu begitu kuat bersemayam di dada. Bukan karena kita menenggelamkan diri dalam lautan perasaan, tetapi seperti kata Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, “Andaikan orang yang jatuh cinta boleh memilih, tentu aku tidak akan memilih jatuh cinta.”
Terkadang perasaan itu mengganggu, hingga tuk berpikir jernih pun kita tak sanggup. Membuat kita banyak berharap, sehingga mengabaikan setiap kali ada yang mau serius. Kita sibuk menanti sampai batas waktu yang kita sendiri tak berani menentukan. Kita merasa yakin bahwa dia jodoh kita, atau merasa bahwa jodoh kita harus dia, tetapi tak ada langkah-langkah pasti yang kita lakukan. Akibatnya, diri kita tersiksa oleh angan-angan.
Persoalannya, apakah yang mesti kita perbuat ketika rasa cinta itu ada? Kita bisa menengok sejarah betapa para salafus saleh terdahulu mengambil sikap yang sangat indah tentang dua orang yang saling mencintai. Mereka tidak memisahkan begitu saja, sebab tak ada yang tampak lebih indah bagi dua orang yang saling mencintai kecuali menikah. Bukankah ini berarti masih ada ruang untuk menjadikan rasa cinta yang datang tanpa diundang itu sebagai penguat tekad menuju jenjang pernikahan? Bukan meninggalkannya serta merta.
Tidakkah kita ingat kisah klasik tentang cinta yang tertuliskan dalam sejarah, betapa terkejut dan berdegup kencangnya dada Ali ketika Fathimah berkata sesungguhnya ia mencintai seorang laki-laki sebelum menikah dengan Ali?
Terkadang diri kitalah yang tidak bisa membedakan antara menjaga pandangan, mengendalikan perasaan, dan mengingkari perasaaan. Kita menganggap perasaan suci itu sebagai sesuatu yang kotor. Kita membunuh, atau bahkan menghancurkannya. Namun sejatinya, perasaan itu, hanya butuh kita kendalikan, hanya cukup kita arahkan.
Referensi:
Ibn Hazm Al Andalusi – Risalah Cinta
M Fauzil Adhim – Saatnya untuk Menikah

Rabu, 20 Februari 2013

PEMILU DALAM TINJAUAN FIQH WAQI' (REALITAS)


Sebagaimana kita ketahui bahwa Islam adalah agama yang Syamil, Kamil, dan Mutakaamil (Universal, sempurna dan menyempurnakan) termasuk tidak bisa dipisahkan antara Islam dan Politik (Siyasi), apabila kita memisahkan antara hal yang satu dengan lainnya maka kita sudah meyakini dan berpandangan Islam tidak Syamil lagi dan itu bukanlah Islam.

Dalam kajian fiqh bukan hanya ibadah kepada Allah saja yang diatur, namun bagaimana pula kita bernegara dan berbangsa. Saya mencoba untuk berlepas diri dari perbedaan pandangan antara yang pro dan kontra demokrasi, namun hal ini adalah khazanah pemikiran yang harus kita hargai dan hormati sebagai kekayaan umat ini. Namun ada hal yang menarik yang mesti kita cermati dalam sebuah kaidah Fiqh "Dar'ul Mafaasid muqoddamun 'alaa jalbil mashaalih" (menolak kerusakan harus didahulukan daripada mengambil kemaslahatan). Realita saat ini jika pemimpin umat tidak tampil dalam pemilu maka kerusakan yang akan terjadi, jika umat Islam banyak yang Golput maka tidak akan ada yang menyampaikan aspirasi umat sehingga akibatnya apa yang pernah terjadi di Kalimantan Tengah yang mayoritas muslim namun gubernurnya adalah non muslim karena mungkin banyak warga muslim yang Golput. Dampaknya informasi terakhir diterima ada larangan penggunaan jilbab di sekolah-sekolah negeri.

Pemilu sebagai turunan dari demokrasi adalah boleh bahkan bisa jadi wajib untuk menyelamatkan umat dari kerusakan akibat dipimpin oleh non muslim (atau pemimpin muslim tapi berideologi sekular), sesuai dengan kaidah fiqh tadi. Jika ada yang masih meyakini bahwa pemilu adalah haram maka jawabannya "Al-Ashlu fil asy-yaa al-ibaahah illa maa Dalla 'alayhi daliilaan" (segala sesuatu hukumnya boleh <dalam perkara dunia dan mu'amalah> kecuali ada dalil yang melarangnya) sehingga untuk menghindari kerusakan umat maka mengangkat pemimpin adalah suatu kewajiban dan pemilu adalah hak sebagai warga negara.

Jawa Barat adalah wilayah yang religius yang tidak layak apabila dipimpin oleh orang-orang yang tidak mempunyai kafaah (cakupan kemampuan) dalam mengelola kereligiusan itu dan wilayahnya, karena tugas dari seorang pemimpin adalah "Khadimul Ummah" (Melayani umat), bahkan pemilu adalah sebuah persaksian dalam mengangkat pemimpin sebagaimana yang dikatakan Dr. Yusuf Al-Qaradawi. Dari harakah apapun kita mari kita sukseskan pemilu Jawa Barat dengan memilih pemimpin yang amanah, Jelas Keislaman dan wawasan agama dan negaranya dengan memilih Ustadz Ahmad Heryawan (Kang Aher) dan Kang Dedi Mizwar di TPS nanti tanggal 24 Februari 2013.

Mari Sukseskan PEMILU untuk JABAR yang lebih Maju, Adil dan Sejahtera.

Hormat Penulis,
Samsam Nurhidayat

Jumat, 25 Januari 2013

ANTARA KONSTITUSI, MOBIL BESAR DAN KEMACETAN DI JALUR SUKABUMI


Mungkin tulisan ini hanya sekelumit apa yang penulis alami ketika melakukan perjalanan pulang dari Sukabumi ke arah Bogor. Sebagaimana kita fahami dan kita tahu bahwa fenomena kemacetan akhir-akhir ini sangat memprihatinkan terutama jalur Sukabumi yang memang sempit untuk kendaraan. Setiap orang memiliki kesibukan dan kepentingan masing-masing dan biasanya dikejar oleh waktu yang memang tidak pernah mengenal kata ulang. Sebenarnya ini hanyalah sebuah unek-unek yang coba dituangkan dalam sebuah tulisan supaya kita semua bisa tersadar atau minimal terbangun dari tidur nyenyak yang selama ini “menina bobokan” kita, khususnya warga Sukabumi. Banyak sekali keluhan dari teman atau kerabat yang hendak melakukan perjalanan menggunakan jalur Sukabumi dengan keluhan kemacetan ini. “Sukabumi sama perjalanannya dari Mekkah ke Indonesia”, celoteh seorang rekan pada penulis.
Memang kemacetan ini menjadi salah satu pemandangan dan keadaan yang sudah dianggap biasa tanpa ada tindakan nyata dan kemudian   meringkus penyebabnya. Tapi jika dibiarkan para penyebab kemacetan ini akan merasa tenang bahkan mungkin tidak merasa berdosa. Hal yang penulis tadi pagi ingat adalah adanya mobil salah satu perusahaan yang mogok dan hal ini sering terjadi sehingga menyebabkan kemacetan yang luar biasa parah. Pertanyaannya sudah seberapa seringkah kemogokan ini terjadi? Sudah ada tindakan apa  dari pihak perusahaan untuk mengatasi hal ini? Dimana peran pemangku kebijakan? Dimana wakil rakyat?. Ya pertanyaan- pertanyaan ini yang mungkin harus dijawab dengan data dan fakta bukan hanya sekedar opini dan wacana.
            Berpijak dari hal tersebut penulis ingin memberikan bocoran tentang pelanggaran yang telah kita  lakukan terhadap Konstitusi. Dalam Konstitusi sudah jelas diamanahkan dalam pasal 33 ayat 2 berbunyi,”Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”. Kemudian di ayat 3,”Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam pasal dan ayat ini jelas negaralah yang seharusnya melakukan permberdayaan terhadap sumberdaya alam yang ada, bukan malah diserahkan kepada pihak swasta yang dengan dalih efisiensi menggunakan mobil besar kemudian mogok dan terjadilah kemacetan sehingga menyebabkan kerugian banyak orang.
            Berdasarkan hal di atas maka penulis merekomendasikan untuk dilakukan uji materil terhadap perusahaan-perusahaan yang mengeksploitasi sumber kekayaan alam Indonesia tersebut, karena hal ini bertentangan dengan konstitusi dan sudah merugikan banyak pihak yang sebenarnya bukan hanya kemacetan saja. Pihak swasta harus ada pembatasan dalam pemanfaatan sumberdaya alam ini, bukan malah mengeksploitasi sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan aspek kesejahteraan masyarakat sekitar.
            Hal lain yang bisa dilakukan adalah mengkonversi perusahaan-perusahaan swasta tersebut menjadi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan pihak swasta dilibatkan sebagai mitra  bukan sebagai pihak yang menguasai dan mengeksploitasi habis-habisan Sumber Daya yang ada dengan menggunakan kendaraan Super Besar sehingga menyebankan Kemacetan.
Wallahu’alam Bishawab.