Minggu, 30 September 2012

Tinjauan Historis Menghadapi Krisis Pangan : Kajian Tematik Terhadap Kebijakan Nabi Yusuf ‘Alaihissalam dalam menghadapi Krisis Pangan


Sebagaimana kita tahu manusia tidak bisa dilepaskan dari sejarahnya, bahkan kita diperintahkan untuk mengambil pelajaran dari sejarah yang telah berlalu. Karena dari sejarah kita bisa belajar berbagai hal termasuk bagaimana manajemen pengelolaan pangan yang diterapkan di masa kenabian Yusuf ‘Alaihissalam, sebagai tindakan preventif dalam menghadapi krisis pangan yang akan terjadi.
Ancaman krisis pangan bukan merupakan hal baru tetapi hal ini sudah terjadi sejak peradaban Mesir kuno. Pada masa itu sejarah mencatat terjadi krisis pangan akibat perubahan iklim ekstrim yakni musim hujan (masa subur) dan El-Nino (musim kering) selama tujuh tahun berturut-turut. Walaupun pada saat ini kita belum pernah mengalami kondisi seekstrim itu. Informasi ancaman pangan datang dari mimpi raja Mesir pada saat itu yang melihat tujuh ekor sapi yang kurus dan tujuh butir gandum yang hijau serta 7 yang lainnya yang kering. Dengan kejadian mimpi seperti itu kemudian dia mengundang para pegawai istana termasuk para cerdik cendikia untuk mendapatkan informasi yang jelas dari mimpi yang dialaminya. Saat keadaan itu tampillah Nabi Yusuf sebagai penta’wil mimpi untuk memprediksi 14 tahun kedepan yang akan terjadi. Tentunya apa yang Nabi Yusuf sampaikan datang melalui wahyu sebagai ‘Pengetahuan’ langsung yang diterima dari Tuhannya. Dengan kemampuan, Pengetahuan, amanah serta seorang yang dapat dipercaya akhirnya Raja Mesir mengangkat Yusuf sebagai bendaharawan negara (QS. 12:55).
Nabi Yusuf ‘Alaihissalam yang dianugerahi kecerdasan oleh Allah SWT. menyusun strategi antisipasif dengan melaksanakan produksi massal gandum, teknologi pasca panen yakni dengan melakukan penyimpanan dengan memetik bersama tangkainya, manajemen stok pangan yang berkeadilan dan dengan prinsip tolong-menolong yang diterapkan antar warga yang mengalami kesulitan pangan. Semua langkah yang dilakukan oleh Beliau disebutkan secara tersirat di dalam Al-Qur’an (QS.12: 43-53).
Pertanyaannya bagaimana kita bisa mengaplikasikan sejarah yang kembali berulang di masa kita. Negara kita adalah negara yang subur dan potensi pertanian yang ada disini sungguh besar sehingga negeri kita disebut sebagai negara agraris. Kalau dilihat dari sini jelas kita berbeda dengan Mesir, Namun sangat ironis dengan banyak sekali bahan pangan yang diimpor dari negeri tetangga. Jangan sampai kita melawan dan menyalahi takdir Allah yang sudah  anugerahkan berupa  potensi Sumberdaya alam yang kaya raya  salah satunya dengan menyediakan kesuburan tanah yang cocok untuk segala jenis tanaman. Kebijakan pemerintah yang tidak pro kepada petani ditambah dengan banyaknya oknum masyarakat yang mengkonversi lahannya untuk kepentingan lain yang lebih menguntungkan secara ekonomi. Mereka berfikir bahwa pertanian yang selama ini dijalani tidak memberikan dampak positif secara ekonomi.
Dari sejarah di atas kita bisa mengambil pelajaran yang bisa kita tiru dalam menghadapi krisis pangan yang mungkin saja terjadi. Nabi Yusuf ‘Alaihissalam memiliki pengetahuan yang luas, komprehensip serta terintegrasi mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan dalam mengelola hasil pangan. ‘Pengetahuan’ yang beliau miliki tentunya dari wahyu yang Allah anugerahkan kepadanya, sementara kita saat ini hanya bisa mendapatkan pengetahuan yang bersifat empiris dari pendekatan sains. Pentingnya pengetahuan sangat dirasa hal yang paling penting. Kurangnya penguasaan informasi dan data yang ada terkait kondisi pertanian meruapakan kendala terberat yang dihadapi para stakeholder saat ini. Sehingga kebijakan yang diterapkan bersifat parsial dan tidak integratif.
Pengetahuan yang berkaitan dengan peguasaan informasi dan data yang real merupakan hal mutlak yang harus dimiliki setiap pemangku kepentingan (stakeholder) baik petani, pemerintah, investor dan konsumen. Nabi Yusuf ‘Alaihissalam mendapatkan informasi yang lengkap melalui perantara wahyu. Sementara saat ini wahyu sudah tidak turun lagi, maka kita bisa menggunakan sarana prasarana moderen dalam mendapatkan informasi terkait kondisi pertanian yang ada. Penggunaaan IT dalam  mendata petani, kondisi lahan, pendamping petani, pemasaran dan hal-hal yang  terintegrasi dari  hulu sampai ke hilir menjadi hal mutlak yang harus dikuasai sehingga kondisi harga stabil dan stok cadangan pangan terjamin.
Selama ini pemerintah kadang memberikan statement yang seolah-olah kondisi pangan yang ada aman bahkan bisa mengalami surplus, namun hal itu hanya pernyataan belaka tanpa tahu dimana lahannya, siapa petaninya, berapa produktifitas yang dihasilkan lahan tersebut. Hal ini terjadi karena data dan informasi yang diterima tidak menyeluruh karena tidak didukung dengan teknologi informasi terkini sehingga menghambat ‘pengetahuan’ itu sendiri. Sehingga dengan hal tersebut banyak sekali kebijakan yang berupa  perundang-undangan atau Perda yang tidak realistis bahkan cenderung merugikan petani.
Dengan bekal pengetahuan yang komrehensip dari data dan informasi yang akurat kita bisa melakukan langkah-langkah yang bersifat teknis, sosiologis, teologis, serta manajemen dampak.
Pada langkah teknis kita memerlukan pengetahuan terkait pembenihan, intensifikasi pertanian, manajemen stok dan manajemen sumberdaya. Perbenihan mulai dari perakitan varietas yang toleran cekaman abiotik (tahan rendaman maupun toleran kekeringan), cekaman biotik (hama penyakit), produktivitas tinggi, maupun melalui teknologi benih yang dapat meningkatkan daya simpan sehingga varietas tersebut dapat tersedia di lapangan. Pada manajemen stok institusi negara dituntut untuk menjamin ketersediaan pangan sehingga terjamin sepanjang tahun. Dalam kondisi krisis, maka mekanisme pasar hanya akan menguntungkan segelintir rent seeker, sehingga perlu diambil alih negara. Pada manajemen sumberdaya terutama air perlu dilakukan pengelolaan kelimpahan air sehingga pada saat kekeringan bisa dimanfaatkan, kampanye penghematan air perlu terus digalakkan.
Langkah sosiologis merupakan pendekatan yang harus dilakukan terhadap para petani, yakni pendekatan manusia dalam sistem tolong menolong dan partisipasi petani. Sebetulnya hal ini adalah jatidiri bangsa kita yang saat ini mulai terkikis dan harus mulai dibangkitkan kembali. Masalah pangan tidak bisa diselesaikan secara sendiri tapi harus diselesaikan secara bersama dan membutuhkan keterlibatan berbagai pihak. Partisipasi yang dilakukan petani penting adanya dalam menjamin keberlanjutan pasokan pangan. Sudah selayaknya petani mendapatkan apresiasi berupa intensif harga, kemudahan akses saprodi dan proteksi negara.
Langkah teologis dilakukan dengan mengaktifkan berupa lembaga keuangan mikro yang bebas dari riba dan pemberdayaan serta pengelolaan zakat yaitu pendekatan yang berkeTuhanan sebagaimana negara ini berdiri dengan tidak mengesampingkan aspek teologis yang termaktub dalam Preambule Pembukaan UUD 1945.  Zakat dilakukan melalui mekanisme retribusi aset yang dimiliki kalangan kaya untuk didistribusikan kepada mereka yang miskin serta mendukung program kepentingan umum/bersama. Sasaran daripada zakat bukan agar semua orang sama rata tetapi agar tidak terjadi ketimpangan yang dirasakan seperti saat ini. Ketimpangan di bidang ekonomi biasanya akan berdampak pada bidang lainnya yakni politik budaya hingga keamanan. Pada kondisi krisis ini tentunya yang kita inginkan tetap aman  dan damai seperti yang terjadi pada masa Nabi Yusuf.
Pada bagian terakhira adalah bagaimana kita mengelola manajemen dampak jika krisis pangan benar-benar terjadi. Upaya yang dilakukan adalah dengan membentuk tim yang akan mengeksekusi serta mempunyai keahlian yang tidak diragukan lagi di bidangnya serta mempunyai integritas dan moral yang tinggi seperti apa yang dicontohkan Nabi Yusuf ‘Alaihissalam. Dukungan sistem anggaran dan penyediaan stok di wilayah-wilayah yang rawan, distribusi secara berkeadilan dan upaya hukum apabila terjadi kecurangan atau penimbunan bahan makanan pangan.
Kesimpulannya krisis tidak selamanya menjadi ancaman dan bencana serta suatu kekhawatiran yang berlebihan namun bisa menjadi sebuah peluang dalam meningkatkan produktifitas pangan dan memacu masyarakat meningkatkan semangat dan solidaritas sesamanya. Hal ini akan terwujud dengan adanya kepemimpinan yang amanah serta berpengetahuan dengan mengedepankan sifat Keadilan sehingga akan terwujud tatanan masyarakat yang memiliki Kesejahteraan yang mampu membawa negara keluar dari ancaman krisis pangan yang selama ini menghantui kita.

Selamat Mencoba
Samsam Nurhidayat
Mahasiswa Agribisnis Universitas Djuanda Bogor semester 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar